28 Mar 2015

Teori Inquiry, Discovery dan Kontruktivis



1.INQUIRY
Salah satu metode mengajar yang sangat kontruktivistik adalah metode inquiry (penyelidikan). Dalam metode ini siswa sungguh dilibatkan untuk aktif berpikir dan menemukan pengertian yang ingin diketahuinya. Dalam metode pembelajaran ini siswa dilibatkan dalam proses penemuan melalui pengumpulan data dan tes hipotesis. 

Secara umum Inquiry adalah proses dimana para saintis mengajukan pertanyaan tentang alam dunia ini dan bagaimana mereka secara sistematis mencari jawabnya (Trowbridge dan Bybee, 1996). Welch mendefinisikan Inquiry sebagai proses dimana manusia mencari informasi atau pengertian, maka sering disebut a way of thought.
Kindsvatter, Wilen, dan Ishler (1996) lebih menjelaskan Inquiry sebagai model pengajaran dimana guru melibatkan kemampuan berpikir kritis siswa untuk menganalisis dan memecahkan persoalan secara sistematik. Yang utama dari metode Inquiry adalah menggunakan pendekatan induktif dalam menemukan pengetahuan dan berpusat kepada keaktifan siswa. Jadi bukan pembelajaran yang berpusat pada guru, melainkan kepada siswa. Itulah sebabnya pendekatan ini sangat dekat dengan prinsip kontruktivis, dimana pengetahuan itu dikonstruksi oleh siswa. Yang pantas dicatat dari metode ini adalah isi dan proses penyelidikan diajarkan bersama dalam waktu yang bersamaan. Siswa melalui proses penyelidikan akhirnya sampai kepada isi pengetahuan itu sendiri.
Meski para ahli menjelaskan secara berbeda – beda model Inquiry, tetapi secara sederhana dapat dijelaskan sebagai model pengajaran yang menggunakan proses berikut (Kindsvatter, Wilen, dan Ishler, 1996:259)
• Identifikasi persoalan
• Membuat hipotesis
• Mengumpulkan data
• Menganalisis data
• Mengambil kesimpulan
Dari langkah – langkah diatas nampak jelas bahwa model Inquiry ini menggunakan prinsip metode ilmiah atau saintifik dalam menemukan suatu prinsip, hukum, ataupun teori. Secara umum metode ilmiah itu punya langkah seperti : merumuskan persoalan, membuat hipotesis, melakukan percobaan untuk mengumpulkan data, menganalisis data yang diperoleh, dan mengambil kesimpulan apakah hipotesis diterima atau ditolak. Proses di atas adalah proses pendekatan induktif, yaitu dari pengalaman lapangan untuk mencari generalisasi dan konsep umum.

 2.DISCOVERY
Discovery adalah model pengajaran dimana guru memberikan kebebasan siswa untuk menemukan sesuatu sendiri karena dengan menemukan sendiri siswa dapat lebih mengerti secara dalam. Dengan menemukan sendiri, siswa akan sampai pada pengalaman gembira “AHA! Aku menemukan!” siswa akan menjadi senang.
Discovery merupakan metode belajar berbasis pencarian, penyelidikan. Gagasan awal diambil dari Rousseau, dewey, piaget, dan bruner. Menurut Bruner ( dalam Burden & Byrd, 1999:104 ) pembelajaran discovery adalah pendekatan kognitif dalam pembelajaran dimana guru menciptakan situasi sehingga siswa dapat belajar sendiri. Siswa belajar melalui keterlibatagn aktif dan prinsip-prinsip. Siswa didorong untuk mempunyai pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip atau pengetahuan bagi dirinya. Jadi, dalam discovery yang sangat penting adalah siswa sungguh terlibat pada persoalannya, menemukan prinsip-prinsip atau jawaban lewat suatu percobaan.
Yang menarik adalah bahwa discoveri selalu dalam situasi problem solving, dimana pelajar dihadapkan pada pengalaman sendiri dan pengetahuan awal mereka, untuk menemukan kebenaran atau pengetahuan baru yang harus dipelajari. Maka sering discovery disebut pembelajaran personal, internal, dan konstruktivis.
Anggapan dasar dari metode discovery adalah bahwa apa yang dipelajari sendiri akan dimengerti lebih baik. Modelnya adalah pencarian induktif. Dalam pencarian itu siswa menemukan ayau mengkonstruksi prinsip dan konsep dengan berhadapan pada contoh atau pengalaman dari prinsip itu ( kaufman 1971 dalam de Boer, 1991 ). 
Dalam model ini siswa berperan aktif dalam proses belajar dengan :
1. Menjawab berbagai pertanyaan atau persoalan,
2. Memecahkan persoalan, untuk menemukan konsep dasar.
Peran guru berubah dari menyajikan informasi dan konsepnya, menjadi mengajak siswa bertanya, melihat, dan mencari sendiri. Guru hanya memberikan arahan.
Menurut soebroto, metodfe penemuan diartikan sebagai cara mengajar yang mementingkan pengajaran perseorangan, manipulasi obyek dan percobaan lain-lainnya. Metode penemuan adalah metode dimana dalam proses belajar siswa diperkenankan menemukan sendiri informasinya. Disini keaktifan siswa sangat penting.
 Trowbridge & Bybee (hal 176) menjelaskan discovery sebagai proses mental di mana siswa mengasimilasikan suatu konsep atau prinsip. Discovery terjadi bila seseorang sungguh terlibat dengan proses berfikir untuk menemukan konsep atau prinsip-prinsip. Unsure penting dalam proses ini adalah siswa dengan menggunakan pikirannya sendiri mencoba menemukan sesuatu pengertian dari apa yang sedang dipelajari.
Macam–macam Discovery menurut Weimer (1975, dalam Burden & Byrd, hal 104) mengidentifikasi adanya 6 discovery, yaitu:
  1. Discovery, proses menemukan sesuatu sendiri. Prosesnya lebih bebas, intinya adalah orang menemukan hokum, prinsip, atau pengertian sendiri.
  2. Discovery teaching. Model mengajar dengan cara menemukan sesuatu. Digunakan guru untuk mengajar siswa dengan cara penemuan.
  3. Inductive discovery. Penemuan dengan pendekatan induktif, yaitu dari pengamatan banyak data, kemudian disimpulkan. Prosesnya lengkap seperti metode ilmiah.
  4. Semi-inductive discovery. Penemuan dengan pendekatan induktif, tetapi tidak lengkap. Seperti data yang diambil hanya sedikit atau prosesnya yang disederhanakan.
  5. Unguided or pure discovery atau discovery murni : siswa diberi persoalan dann harus memecahkan sendiri dengan sedikit sekali petunjuk guru. Guided discovery : siswa diberi soal untuk dipecahkan dengan guru menyediakan petunjuk dan arahan bagaimana memecahkan persoalan tersebut.
3.KONSTRUKTIVIS
Konstrutivis; construtivism dalam bahasa inggris berasal dari kata construct yang berarti membina. Konstrutivisme ialah teori yang bertunjangkan usaha pelajar mengaitkan ide lama dengan ide baru dalam pembinaan ilmu pengetahuan (Ausubel dalam Sadia, 1996). Teori ini pertama kali diperkenalkan dalam konteks pendidikan dan perkembangan anak-anak oleh Piaget dan john dewey.
Konstruktivis atau kontruktivisme merupakan suatu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengatahuan kita adalah sebuah konstruksi atau bentukan diri kita sendiri. Dan menurut piaget pembentukan atau konstruksi ini tak pernah mencapai suatu titik akhir namun terus berkembang setiap kali diadakannya reorganisasi karena adanya suatu pemahaman baru
Donald R. (2006: 255) mengutip beberapa pendapat mengenai konstruktivisme sebagai berikut:
Constructivism is defined as teaching that emphasizes the active role of the learner in building understanding and making sense of information (Woolfolk, 2003),; learners construction of knowledge as they attempt to make sense of their environment (McCown, driscoll & Roop, 1995); and learning that occurs when learners actively engage in a situation that involves collaboratively formulating questions, explaining phenomenon, addressing complex issues, or solving problems.
Dengan demikian, Donald mengemukana bahwa “Constructivism is a way of teaching and learning that intends to maximize student understanding”. Maksudnya, kontruktivisme adalah suatu cara dalam pengajaran dan pembelajaran yang tujuannya adalah untuk memaksimalkan pemahaman siswa
Konstruktivisme pembelajaran ialah desain pembelajaran yang menekankan kemampuan peserta didik dalam mengkonstruksi pengatahuannya sendiri, bukan serta merta pendidik yang selalu menjadi senter penerang di kala gelap melanda.(Aunurrahman,2009), namun disinilah setiap peserta didik secara individual harus dan layak memiliki kemampuan untuk memperdayakan fungsi-fungsi psikis dan mental yang dimilikinya yaitu kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman yang lalu, membandingkan dan mengambil sebuah keputusan dan kemampuan yang lebih menyukai satu dari yang lainnya.
Menurut Dina Gasong , Pembentukan pengetahuan konstruktivistik memandang bahwa subyeklah yang aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan adanya bantuan struktur kognitif ini, subjek akan mampu menyusun pengertian realitasnya. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi. Hal ini jelas mensyaratkan bahwa pengetahuan itu merupakan suatu konstruksi diri.
Prinsip dasar yang mendasari filsafat konstruktivis adalah bahwa semua pengetahuan dikonstruksikan (dibangun) dan bukan dipersepsi secara langsung oleh indera (pemciuman, penglihatan, perabaan,…). Seperti dikatakan oleh Von Glasersfeld (dalam Paul, S., 1996), salah satu pendiri gerakan konstruktivis, bahwa konstruktivisme berakar pada asumsi bahwa pengetahuan, tidak peduli bagaimana pengetahuan itu didefinisikan, terbentuk di dalam otak manusia, dan subjek yang berpikir tidak memiliki alternatif selain mengkonstruksikan apa yang diketahuinya berdasarkan pengalamannya sendiri. Semua pikiran kita didasarkan oleh pada penglaman kita sendiri, dan oleh karenanya bersifat subjektif (Muijs dan Reynolds, 2008:96).
Lebih lanjut Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996) sebagaimana dikutif oleh Asri Budiningsih (2005:57) mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu; 1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, 2) kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan dan 3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengetahuan yang satu daripada yang lainnya.
Setara dengan di atas, Budingsih juga mengemukakan bahwa faktor-faktor yang juga mempengaruhi proses mengkonstruksi pengetahuan adalah konstruksi pengetahuan seseorang yang telah ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan yang telah dimiliki seseorang akan menjadi pembatas konstruksi pengetahuan yang akan datang. Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi unsur penting dalam membentuk dan mengembangkan pengetahuan. keterbatasan pengalaman seseorang pada suatu hal juga akan membatasi pengetahuannya akan hal tersebut. pengetahuan yang telah dimiliki orang tersebut akan membentuk suatu jaringan struktur kognitif dirinya.
Semua kalangan dari paham konstruktivis menyetujui bahwa pengetahuan secara aktif dikonstruksi oleh manusia, entah secara individual ataupun dalam kelompok, bukannya diterima dari sumber natural atau.  Selain ini, definisi kontruktivisme beragam menurut permasalahan yang diperdebatkan bersama dengan perubahan konstruktivis. Bidang perdebatan yang paling dasar dipresentasikan oleh suatu rangkaian dalam memandang belajar sebagai suatu tindakan instruksi secara individual untuk melihat belajar sebagai sebuah kontruksi sosial. Rangkaian ini dipusatkan pada satu posisi yang dikenal sebagai konstruktivisme radikal atau psikologikal, yang menggambarkan konstruksi pengetahuan sebagai suatu proses yang terjadi dalam mind dari individu. Pada sisi lain dari rangkaian tersebut diberlakukan dengan posisi yang dikenal sebagai “social constructivism or sociocultural posistion” yang melihat “mind” sebagai hampir secara keseluruhan melekat pada social practice of the culture (kenyataan sosial budaya).
Dengan demikian, kontruktivisme seperti dikatakan oleh Von Glasefeld (dalam Paul, S., 1996)  adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan (kontruksi) kita sendiri. pengetahuan bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari kontruksi kognitif melalui melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan sekema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan baru. Padangan kontruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang. Manusia mengkonstruksi pengalamnnya. konstruktivistik mengarahkan perhatiannya pada bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamnnya, struktur mental, dan keyakinan yang digunakan untuk menginterpretasikan objek dan peristiwa-peristiwa. Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran dalah instrumen penting dalam menginterpretasikan kejadian, objek, dan pandangan dunia nyata, di mana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara individual. Dalam kontruktivis menyatakan bahwa semua pengetahuan yang kita peroleh adalah konstruksi kita sendiri, maka mereka menolak kemungkinan transfer pengetahuan dari seseorang kepada yang lain bahkan secara prinsipil

Tidak ada komentar:

Posting Komentar